Memasuki bulan Juni 2025, pergerakan IHSG menunjukkan pola yang cukup dinamis. Meski sempat dibuka dengan tekanan jual, indeks saham acuan Indonesia ini menunjukkan ketahanan di tengah derasnya arus informasi dan gejolak global. Sejumlah faktor, baik dari dalam negeri maupun luar negeri, silih berganti memengaruhi sentimen pasar. Mulai dari proyeksi kebijakan moneter, ketegangan geopolitik di Timur Tengah, hingga keputusan pemerintah terkait sektor tambang, semuanya turut membentuk arah gerak IHSG bulan ini.
Belajar Gratis Saham dan Reksadana: Klik Link Berikut
Awal Bulan: Pasar Dibuka dengan Arah Konsolidasi
Pada awal perdagangan bulan Juni, tepatnya tanggal 3 Juni 2025, IHSG dibuka di zona merah dan melemah menuju level 7.036. Ini mencerminkan sikap hati-hati pelaku pasar terhadap dinamika global yang belum sepenuhnya stabil. Investor cenderung menahan diri menjelang rilis data inflasi global dan keputusan suku bunga dari bank sentral Amerika Serikat (The Fed), yang dapat mempengaruhi arah aliran dana ke pasar negara berkembang seperti Indonesia.
Meski demikian, kondisi ini tidak sepenuhnya negatif. Banyak analis memandang bahwa pelemahan IHSG di awal bulan merupakan bagian dari fase konsolidasi wajar, setelah sebelumnya indeks mengalami penguatan pada akhir Mei. Sejumlah investor juga mulai melakukan akumulasi pada saham-saham berfundamental kuat, terutama di sektor konsumsi dan perbankan.
Optimisme Akan Penguatan di Bulan Juni
Seiring berjalannya waktu, berbagai lembaga keuangan dan analis pasar seperti Kiwoom Sekuritas, Kontan, Bisnis Indonesia, hingga Kabar Bursa merilis proyeksi yang cukup optimis. Mereka menyebut bahwa IHSG berpotensi menguat menuju level 7.300 pada Juni ini. Optimisme ini didasari oleh beberapa faktor:
- Potensi Pemangkasan Suku Bunga Bank Indonesia (BI)
Dengan kondisi inflasi yang tetap terkendali dan pertumbuhan ekonomi yang stabil, pasar memproyeksikan bahwa BI memiliki ruang untuk memangkas suku bunga acuan. Kebijakan ini tentu akan menjadi angin segar bagi pasar saham, karena dapat menurunkan cost of fund dan mendorong pertumbuhan sektor riil. - Stabilitas Nilai Tukar Rupiah
Rupiah yang relatif stabil di kisaran Rp15.900–16.000 per dolar AS menjadi penopang penting. Intervensi aktif Bank Indonesia di pasar valas memberi kepercayaan kepada investor bahwa volatilitas mata uang akan tetap terjaga. - Arus Masuk Dana Asing
Investor asing kembali mencatatkan net buy di sektor-sektor defensif seperti consumer goods, infrastruktur, dan energi ramah lingkungan. Ini menunjukkan meningkatnya kepercayaan terhadap pasar modal Indonesia. - Window Dressing Menjelang Laporan Keuangan Kuartal II
Menjelang rilis kinerja keuangan emiten, terutama pada akhir Juni hingga awal Juli, manajer investasi biasanya melakukan reposisi portofolio untuk meningkatkan performa. Ini mendorong aksi beli di beberapa saham unggulan.
Gangguan dari Luar: Ketegangan Geopolitik Timur Tengah
Namun, pasar tidak berjalan mulus. Di minggu ketiga Juni, tepatnya tanggal 18–19 Juni 2025, IHSG mengalami tekanan yang cukup tajam. Hal ini dipicu oleh meningkatnya ketegangan antara Iran dan Israel, yang berujung pada kekhawatiran global terhadap pasokan minyak.
Harga minyak melonjak akibat potensi disrupsi distribusi di kawasan Teluk Persia. Dampaknya, investor global mulai melakukan aksi jual di pasar negara berkembang, termasuk Indonesia, dan memilih aset yang lebih aman seperti emas dan obligasi AS.
IHSG pun melemah, dan sektor transportasi serta energi menjadi yang paling tertekan. Kenaikan harga minyak dikhawatirkan akan memicu inflasi impor dan menekan daya beli masyarakat, yang pada akhirnya bisa berdampak pada kinerja emiten domestik.
Keputusan Suku Bunga The Fed
Selain geopolitik, pelaku pasar juga menanti arah kebijakan moneter Amerika Serikat. The Fed belum memberikan kepastian kapan akan memangkas suku bunga, meski data ekonomi menunjukkan adanya ruang untuk pelonggaran. Ketidakpastian ini menciptakan volatilitas di pasar global.
Investor menahan diri dari aksi spekulatif, dan ini menyebabkan IHSG bergerak datar di kisaran 7.050–7.150. Pergerakan ini mencerminkan pendekatan wait-and-see, di mana pelaku pasar menunggu sinyal yang lebih kuat sebelum kembali melakukan akumulasi agresif.
Regulasi Tambang dan Bencana Alam
a. Pencabutan Izin Tambang di Raja Ampat
Pada 10 Juni 2025, pemerintah mencabut izin operasi empat perusahaan tambang di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya. Keputusan ini diambil setelah ditemukan pelanggaran serius terhadap aturan lingkungan dan administratif.
Bagi investor, berita ini memicu kekhawatiran terhadap pengetatan regulasi di sektor pertambangan. Meski langkah ini dipandang positif dari sisi keberlanjutan lingkungan dan reputasi Indonesia di mata dunia, pasar mengantisipasi adanya gangguan produksi dan potensi penurunan pendapatan emiten tambang terkait.
b. Erupsi Gunung Lewotobi Laki-laki
Di sisi lain, pada 17 Juni 2025, Gunung Lewotobi Laki-laki di Flores, Nusa Tenggara Timur, mengalami erupsi dan statusnya ditingkatkan ke level tertinggi (Awas). Aktivitas vulkanik ini menyebabkan gangguan penerbangan dan logistik di wilayah timur Indonesia.
Dampak terhadap IHSG secara umum memang terbatas, namun sektor pariwisata dan transportasi domestik berpotensi terdampak dalam jangka pendek. Perusahaan-perusahaan yang memiliki basis operasional atau ketergantungan logistik di wilayah tersebut mengalami tekanan sementara.
Baca Juga: RIVIEW SINGKAT SAHAM MIKA – Sekilas Market
Tindakan Proaktif OJK dan Bank Indonesia
Menghadapi fluktuasi pasar, OJK dan Bank Indonesia terus menunjukkan respons cepat:
- OJK memberikan kelonggaran buyback saham tanpa persetujuan RUPS, agar emiten bisa menstabilkan harga sahamnya.
- Bank Indonesia menjaga kestabilan nilai tukar melalui intervensi valas dan operasi moneter. Ini penting untuk menjaga kepercayaan investor asing.
Langkah-langkah ini berhasil meredam sentimen negatif dan menunjukkan komitmen regulator dalam menjaga ketahanan pasar keuangan domestik.
Secara keseluruhan, IHSG sepanjang Juni 2025 bergerak dalam rentang 7.000–7.300, mencerminkan kondisi pasar yang masih berfluktuasi namun stabil. Faktor global seperti geopolitik dan kebijakan The Fed menjadi pendorong utama arah jangka pendek. Di sisi lain, faktor domestik seperti kebijakan fiskal, intervensi BI, serta dinamika sektor tambang juga turut membentuk sentimen investor.
Dengan tetap mencermati dinamika global dan kebijakan ekonomi pemerintah, investor disarankan untuk fokus pada sektor-sektor defensif seperti konsumer primer, telekomunikasi, dan energi ramah lingkungan yang relatif tahan terhadap gejolak global.
Analisis Pergerakan IHSG

Pada pertengahan Juni 2025, pergerakan IHSG menunjukkan sinyal yang perlu diwaspadai oleh pelaku pasar. Setelah mencatatkan penguatan yang konsisten sejak pertengahan April hingga awal Juni, indeks mulai menunjukkan pola pembalikan arah. Koreksi yang terjadi dalam beberapa hari terakhir bukan hanya bersifat teknikal, melainkan juga didukung oleh tekanan global yang turut menyeret performa pasar saham di kawasan Asia, termasuk Indonesia.
Penurunan IHSG pada perdagangan terakhir membuat indeks ini ditutup di level 6.907, setelah turun 0,88% dalam sehari. Pergerakan ini sekaligus menandai penembusan ke bawah dua garis support teknikal utama, yaitu Exponential Moving Average (EMA) 20 dan EMA 200. EMA 20 yang berada di kisaran 6.989 dan EMA 200 yang melandai di sekitar 7.024 kini telah dilanggar oleh harga penutupan IHSG, memberi sinyal bahwa tekanan jual tengah mendominasi pasar.
Secara teknikal, posisi IHSG saat ini berada dalam area krusial. Level 6.900 menjadi batas psikologis yang sedang diuji, dan jika level ini gagal dipertahankan, maka IHSG berpotensi melanjutkan penurunan menuju level support berikutnya di kisaran 6.800. Sementara itu, EMA 200 yang sebelumnya menjadi support kini berubah fungsi menjadi resisten dinamis, dan akan menjadi tantangan berat jika IHSG mencoba bangkit kembali dalam waktu dekat.
Dengan kondisi ini, pasar tampaknya masih membutuhkan sentimen positif baik dari faktor global seperti kebijakan suku bunga The Fed maupun dari dalam negeri seperti aliran dana asing atau kebijakan fiskal pemerintah yang mendukung pertumbuhan. Tanpa katalis positif tersebut, pergerakan IHSG dalam jangka pendek diperkirakan masih akan berada dalam tekanan, dengan potensi bergerak sideways di kisaran 6.800–7.000.
Berdasarkan berita global dan domestik di bulan Juni 2025 serta hasil analisis teknikal IHSG yang saat ini dalam fase koreksi dan uji support krusial, berikut ini adalah rekomendasi saham yang cocok untuk dikoleksi atau diamati oleh investor, baik untuk tujuan jangka pendek (rebound) maupun jangka menengah (defensif).
Rekomendasi Saham Cocok di Tengah Kondisi Saat Ini
Di tengah kondisi pasar yang sedang berada dalam fase koreksi teknikal dan dibayangi oleh berbagai ketidakpastian global, investor dituntut untuk lebih selektif dalam memilih sektor yang tangguh dan memiliki prospek jangka menengah yang baik. Dua sektor yang layak mendapat perhatian saat ini adalah sektor telekomunikasi dan energi baru terbarukan (EBT). Kedua sektor ini tidak hanya defensif di tengah ketidakpastian, tetapi juga menyimpan potensi pertumbuhan yang solid jika dilihat dari sisi fundamental dan arah kebijakan pemerintah.
Sektor Telekomunikasi: Stabilitas di Tengah Volatilitas
Sektor telekomunikasi dikenal sebagai salah satu sektor yang minim volatilitas karena ditopang oleh pendapatan berulang (recurring income) dari pelanggan ritel dan korporasi. Dalam masa konsolidasi seperti sekarang ini, saham-saham telekomunikasi seperti Telkom Indonesia (TLKM) dan XL Axiata (EXCL) menjadi alternatif menarik bagi investor yang mencari kestabilan sekaligus peluang pertumbuhan.
Telkom Indonesia (TLKM) secara khusus terus melakukan transformasi digital yang agresif. Anak usahanya seperti Mitratel, Telkomsel, hingga penggabungan layanan IndiHome ke Telkomsel menjadi strategi efisiensi yang sangat diperhatikan pasar. Langkah ini bukan hanya mendorong peningkatan kinerja keuangan, tapi juga membuka peluang sinergi dan pertumbuhan jangka panjang, terutama di ranah digital economy dan konektivitas infrastruktur.
Ditambah lagi, TLKM memiliki arus kas yang kuat serta konsisten membagikan dividen, dengan yield di atas 3%. Hal ini menjadikan TLKM cocok untuk investor yang mengincar cashflow jangka menengah, apalagi di tengah kondisi pasar yang belum sepenuhnya pulih. EXCL juga menjadi pilihan menarik karena pertumbuhan pengguna data yang terus meningkat di luar Jawa dan ekspansi infrastruktur jaringan yang terus berjalan.
Dalam strategi investasi, saham-saham sektor ini cocok untuk akumulasi bertahap (gradual accumulation) atau swing trading jangka menengah, sambil menanti momentum pemulihan indeks secara keseluruhan.
Sektor Energi Baru Terbarukan (EBT): Relevansi ESG dan Ketahanan Energi
Di sisi lain, sektor energi menjadi sorotan investor, terutama karena gejolak harga minyak global yang dipicu oleh ketegangan geopolitik antara Iran dan Israel. Namun dalam kondisi seperti ini, justru saham-saham energi yang berorientasi ke sumber daya terbarukan dan ramah lingkungan menjadi primadona baru, salah satunya adalah MEDC (Medco Energi Internasional) dan PGEO (Pertamina Geothermal Energy).
MEDC, meskipun memiliki lini bisnis utama di sektor minyak dan gas, telah mulai memperluas eksposurnya ke bidang energi terbarukan dan gas alam (natural gas), yang lebih bersih dan sesuai dengan tren global. Selain itu, manajemen MEDC aktif mengelola struktur keuangan perusahaan dan menjaga efisiensi operasional, sehingga tetap menjadi pilihan yang menarik meskipun harga minyak volatile.
Sementara itu, PGEO hadir sebagai pemain utama di sektor geothermal, yang menjadi tulang punggung transisi energi hijau di Indonesia. Karena tidak tergantung pada harga minyak global, kinerja PGEO lebih stabil, dan sangat sesuai dengan fokus ESG (Environmental, Social, and Governance) yang kini menjadi pertimbangan penting bagi investor institusi global.
Dengan dukungan penuh dari pemerintah terhadap energi bersih dan meningkatnya kebutuhan energi dalam negeri, PGEO menjadi salah satu saham yang berpeluang tumbuh dalam jangka menengah. Strategi investasi yang disarankan untuk kedua saham ini adalah accumulate on dip, dengan horizon waktu hingga kuartal III/2025 atau bahkan lebih lama bagi investor yang bersedia menahan portofolio dengan pendekatan tematik (green investment).
*Disclaimer: Artikel berikut merupakan analisa yang bertujuan untuk edukasi investasi. Segala keputusan investasi pelaku pasar serta resiko yang menyertai merupakan tanggung jawab masing-masing investor.