Dalam Negeri, Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan mempertahankan suku bunga di level 5,75% di tengah ketidakpastian global yang tinggi, terutama akibat kebijakan tarif impor AS. BI juga mengantisipasi dampak dari potensi perubahan kebijakan The Fed, yang menjadi faktor utama dalam menentukan arah kebijakan moneter domestik. Tekanan eksternal, termasuk aliran modal keluar dan volatilitas rupiah, menjadi tantangan bagi BI dalam menjaga stabilitas ekonomi.
Belajar Gratis Saham dan Reksadana: Klik Link Berikut
Pada Januari 2025, Indeks Penjualan Ritel (IPR) mencatat penurunan 4,7% MoM setelah sebelumnya tumbuh 5,9%. Sementara itu, Fitch mempertahankan peringkat kredit Indonesia di BBB dengan outlook stabil, mempertimbangkan prospek ekonomi jangka menengah yang baik dan rasio utang pemerintah terhadap PDB yang rendah. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada Februari 2025 tercatat sebesar Rp31,2 triliun, melebar dari posisi Januari 2025 yang mencapai Rp23,5 triliun atau 0,10% terhadap PDB. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa defisit APBN sementara ini mencapai 0,13% terhadap PDB.
Dalam hal pembiayaan, Kementerian Keuangan merealisasikan penarikan utang sebesar Rp438,1 triliun hingga 28 Februari 2025, setara 35,7% dari total target tahunan. Total posisi utang pemerintah mencapai Rp8.909,13 triliun atau 39,6% dari PDB per Januari 2025. Pemerintah menargetkan total penarikan utang sepanjang tahun sebesar Rp775,9 triliun untuk pembiayaan APBN 2025.
Pada pekan ketiga Maret 2025, perhatian pasar tertuju pada keputusan suku bunga Bank Indonesia (19 Maret) dan The Fed (20 Maret). The Fed diperkirakan akan menahan suku bunga, sementara BI menghadapi dilema antara menjaga stabilitas rupiah atau mendukung pertumbuhan ekonomi. Ketidakpastian ini membuat IHSG bergerak mixed, dengan tekanan dari net sell asing dan minimnya sentimen positif.
Namun, kepercayaan pasar meningkat setelah Sri Mulyani memastikan tetap di kabinet. Keputusan Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia mempertahankan BI-Rate di 5,75% mengurangi ketidakpastian ekonomi. Selain itu, kebijakan OJK yang memperbolehkan buyback saham tanpa RUPS turut menambah sentimen positif, membantu stabilisasi pasar. Meski demikian, volatilitas masih berpotensi terjadi akibat faktor eksternal.
Pergerakan IHSG, IHSG ditutup menguat 2,37% ke level 6.531,39 dengan net foreign buy sebesar Rp118,66 miliar di pasar reguler. Namun, pada Jumat (14/03), IHSG ditutup melemah -131,79 poin (-1,98%) ke level 6.515,63 dengan net foreign sell sebesar Rp1,44 triliun di pasar reguler. Sentimen IHSG masih negatif akibat tekanan eksternal dari inflasi AS yang memicu spekulasi kenaikan suku bunga The Fed, ditambah pelemahan rupiah dan aksi profit taking. Pelemahan bursa global serta ketidakpastian ekonomi turut membebani investor domestik. Pasar juga menanti dampak data PPI AS terhadap aliran dana asing di Indonesia.
Pasar Global, Pasar global terpengaruh oleh kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump yang menaikkan tarif impor baja dan aluminium dari Kanada menjadi 50%, lebih tinggi dari rencana awal 25%. Kebijakan ini merupakan respons terhadap kebijakan Ontario yang membebani ekspor listrik ke AS. Selain itu, jumlah lowongan pekerjaan di AS meningkat menjadi 7,51 juta, naik dari 7,4 juta pada Januari. Sentimen negatif juga dipengaruhi oleh meningkatnya klaim pengangguran awal AS menjadi 220.000, tertinggi dalam tiga pekan terakhir.
Di Asia, indeks Hang Seng melemah 2,12%, sementara Shanghai Composite turun 1,81%. Indeks Nikkei 225 justru menguat tipis 0,72%, sedangkan Straits Times melemah 0,10%. Sementara itu, produksi industri AS naik 1,4% pada Februari, menunjukkan ketahanan sektor manufaktur meski mengalami perlambatan. Sentimen pasar tetap beragam dengan pelaku pasar yang mencermati dampak ekonomi global terhadap pergerakan modal.
Baca Juga: IHSG Terseret Sentimen Global, Tapi FDI Indonesia Beri Sinyal
Rekomendasi Saham Berdasarkan Sentimen Pasar
- Sektor Perbankan (BBCA, BBRI, BMRI, BBNI)
- Stabilitas sektor perbankan didukung oleh BI yang mempertahankan suku bunga di 5,75%.
- Kredit tetap tumbuh meski ada tekanan global.
- Saham perbankan besar cenderung defensif di tengah volatilitas pasar.
- Sektor Konsumsi (UNVR, ICBP, MYOR, INDF)
- Meski penjualan ritel Januari turun 4,7% MoM, sektor ini tetap defensif.
- Permintaan domestik yang stabil menopang prospek jangka panjang.
- Sektor Infrastruktur & Konstruksi (TLKM, JSMR, WIKA, PTPP, ADHI)
- Pemerintah menarik utang untuk pembiayaan APBN 2025, mendukung proyek infrastruktur.
- Saham BUMN konstruksi berpotensi mendapat manfaat dari proyek pemerintah.
- Sektor Pertambangan & Energi (ADRO, ITMG, PTBA, MEDC)
- Ketidakpastian global dan kebijakan tarif AS bisa mendorong harga komoditas energi.
- Potensi peningkatan permintaan batu bara dan energi dari industri AS.
- Sektor Industri Dasar (Baja & Semen) (KRAS, SMGR, INTP)
- Tarif impor baja AS bisa berdampak pada industri baja global.
- Pembangunan infrastruktur domestik meningkatkan permintaan semen.
*Disclaimer: Artikel berikut merupakan analisa yang bertujuan untuk edukasi investasi. Segala keputusan investasi pelaku pasar serta resiko yang menyertai merupakan tanggung jawab masing-masing investor.